Jumat, 16 Oktober 2009

Konsep Pendidikan Islam yang Humanis

Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat mendasar, dalam usaha untuk mempersiapkan sumber daya manusia dan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Oleh karenanya, kemajuan suatu bangsa dapat ditandai dan diukur dari kemajuan aspek pendidikannya. Dalam kontek pelaksanaannya, pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan berkualitas, yang meliputi : (1) produk pendidikan yang dihasilkan, berupa persentase peserta didik yang berhasil lulus dan lulusan tersebut dapat diserap oleh lapangan kerja atau membuka lapangan kerja; (2) proses pendidikan menyangkut pengelolaan kelas yang sesuai dengan kondisi kelas, penggunaan metode pengajaran yang tepat serta lingkungan masyarakat yang kondusif; dan (3) Out put pendidikan yang dapat menjadi agen kebaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi, dengan berbagai persoalan yang terjadi dan belum terciptanya kualitas pendidikan yang diharapkan, mensyaratkan pendidikan di Indonesia harus terus dibangun dan dibenahi. Salah satu bentuk dari persoalan yang dapat menghambat tercapainya proses pendidikan tersebut adalah masih adanya praktek kekerasan yang mengatasnamakan pendidikan. Dalam kasus seperti ini, praktek pendidikan malah dapat menjadi sarana penghambat tumbuhnya potensi kemanusiaan. Padahal, orientasi aktifitas pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang sesungguhnya. Jika melihat konsep pendidikan Islam, sesungguhnya banyak tawaran yang dapat digunakan dalam kontek pendidikan yang memanusiakan. Di antara konsep pendidikan tersebut adalah konsep pendidikan Profetik.
Pada dasarnya, gagasan mengenai konsep pendidikan profetik ini telah banyak diperbincangkan sejak beberapa tahun lalu. Walaupun konsep pendidikan profetik ini terkesan bernuansa eksklusif keagamaan untuk dieksplor ke wilayah pendidikan secara umum, namun nilai-nilai yang ada di dalamnya sangat konstruktif bagi dunia pendidikan. Bahkan dapat dikatakan bahwa konsep pendidikan ini sangat sejalan dengan semangat pendidikan nasional dan tidak bertentangan terhadap konsep-konsep pendidikan dengan paradigma baru yang telah ada.
Kata “profetik” berasal dari bahasa Inggris prophetic, yang berarti kenabian. Dan kata kenabian sendiri berasal dari bahasa Arab yakni nubuwwah. Nabi adalah seseorang yang memperoleh wahyu dari Allah untuk memperbaiki kehidupan umat manusia di muka bumi. Sesuai dengan misi kenabian, pendidikan profetik pada prinsipnya berorientasi pada pendidikan untuk memanusiakan manusia. Sebagaimana praktek pendidikan yang telah diaplikasikan oleh Muhammad saw dan sahabatnya serta generasi Islam selanjutnya beberapa dekade dahulu. Dan salah satu bentuk konkrit dari konsep pendidikan profetik ini adalah menempatkan anak didik sebagai patner dalam pembelajaran dan adanya upaya untuk menumbuhkembangkan daya kritis dan kreatif anak, agar mereka lebih siap menghadapi realitas kehidupan yang sesungguhnya.
Jika melihat perjalanan sejarah umat Islam, khususnya dalam dimensi pendidikan. Maka akan ditemukan budaya kritis dan kreatif dalam khazanah intelektual muslim. Setelah era Muhammad saw sebagai tokoh besar yang telah berhasil menancapkan pondasi awal pilar-pilar pendidikan, dan pada fase berikutnya peradaban Islam berkembang pesat di masa dinasti Abbasiyah di belahan Timur dan dinasti Umayyah Spanyol (Andalusia) di belahan Barat (abad 8-12 M). Dimana perkembangan ilmu pengetahuan Islam mencapai puncaknya. Sehingga masa-masa itu diakui oleh para sejarawan, baik dari dunia belahan Timur maupun Barat sebagai masa-masa keemasan umat Islam (Golden Age). Bersamaan dengan itu pula, bangsa eropa di belahan dunia Barat mengalami masa-masa kegelapan (Dark Age), bahkan untuk selanjutnya harus banyak belajar dari dunia Islam, sehingga menemukan momentum kemajuannya pada masa berikutnya melalui Renaissance abad ke 15 M dan revolusi industri abad ke-18 M.
Disebut masa keemasan, karena pada masa itulah muncul para intelektual muslim yang mampu menghasilkan karya-karya besar bagi peradaban dunia, termasuk bagi peradaban Barat selanjutnya. Ilmuwan seperti Ibnu Sina yang ahli kedokteran, Al-Khawarizmi ahli matematika, Ibnu Rusyd ahli filsafat, Ibnu Maskawaih ahli pendidikan, dan banyak lagi tokoh yang lainnya. Mehdi Nakosteen (1964) menyebutkan, hal yang mendasari munculnya para ilmuwan tersebut dikarenakan beberapa hal, di antaranya: tingginya tradisi ilmiah pada masa itu, dukungan pemerintah yang sangat besar terhadap pengembangan ilmu, banyaknya penulisan dan penyalinan karya ilmiah, tingginya penghargaan terhadap buku yang berimplikasi pada banyaknya perpustakaan-perpustakaan, munculnya semangat kritis dan kreatif, dan sudah tentu motivasi agama yang menekankan akan pentingnya menuntut dan mengembangkan ilmu.
Dalam pemahaman yang sederhana, makna kritis (critical) adalah mengupas, sedangkan kreatif (creative) berarti sifat mencipta-dalam kontek manusia (John M. Echols dan Hasan Shadily, 1987). Sifat kritis menjadi salah satu prasyarat bagi peserta didik untuk dapat bersifat kreatif. Sifat kritis yang dimulai dari proses pembelajaran, diharapkan dapat berkembang dan menyebar ke segala aspek kehidupan. Sifat ini penting, karena peserta didik dihadapkan pada berbagai persoalan dalam kehidupannya sehari-hari (Suharsimi Arikunto, 1993).
Dengan sifat kritis dan kreatif, diharapkan peserta didik akan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Daya kritis dan kreatif akan menentukan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Sehingga dapat dikatakan bahwa menumbuhkembangkan daya kritis dan kreatif peserta didik, berarti menumbuh- kembangkan kemampuan mereka dalam menyelesaikan masalah. Apalagi jika dikaitkan dengan kontek perubahan zaman yang begitu cepat. Akses yang ditimbulkan tidak hanya bersifat positif, namun banyak pula yang negatif. Untuk itu perlu dikembangkan sifat kritis dan kreatif. Dalam kontek muatan kurikulum dan proses pembelajaran, isi dari kurikulum hendaknya dirancang untuk menghasilkan peserta didik yang kritis dan kreatif. Mata pelajaran/mata kuliah seperti metode berpikir, metode penelitian, dan logika perlu mendapat porsi memadai, sesuai dengan tingkat (level) pendidikannya.
Apabila konsep pendidikan profetik, khususnya pendidikan kritis dan kreatif ini diperkecil ruang lingkupnya dalam praktek pendidikan Islam, maka proses pendidikan diarahkan untuk kembali pada misi kenabian, yaitu untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Di mana prinsip pendidikan umat Islam adalah berusaha mengarahkan peserta didik agar memiliki etika al-Qur'an. Dengan etika al-Qur'an, peserta didik dapat mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk mengatur alam semesta agar tercipta kemaslahatan kehidupan bagi seluruh umat manusia. Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dalam proses pendidikan, baik kekerasan fisik maupun psikis tidaklah menunjukkan semangat pendidikan profetik yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar